Wednesday, October 17, 2007


Lomba Karya Tulis
XL Award 2007

Tema: Konvergensi IT dan Telekomunikasi serta keuntungannya bagi masyarakat


Menggabungkan Pembelajaran Kontekstual dengan Teknologi Selular

Totok Amin Soefijanto

Ada pemeo yang mengatakan, “dengan mengajar, kita belajar”. Sudah bukan zamannya lagi guru berdiri di depan kelas, mengajarkan materi dengan suara keras, dan murid menyimak dengan manis di bangku masing-masing. Sangat jarang ada dialog dan diskusi, karena murid telah dibiasakan bersikap pasif. Tak jarang, murid sibuk ber-sms ria dengan temannya. Makanya, kebanyakan murid akan memilih diam karena sikap diam lebih baik dan aman. Kalau bertanya, nanti dianggap belum mengerti, dan itu bisa membuat beberapa guru tersinggung. Bapak dan ibu guru akan kesal, “sudah dijelaskan berjam-jam kok masih belum mengerti”. Sekarang, ada teknologi nirkabel seperti telepon genggam yang bisa memfasilitasi proses belajar mengajar di sekolah kita.

Banyak riset yang menunjukkan bahwa proses pembelajaran yang berlangsung secara satu arah, yaitu guru mengajar dan murid menyimak, membuat anak didik kurang menyerap materi pelajaran dan sering membuat mereka kehilangan minat belajar. Salah satu metode yang kemudian dicoba diterapkan di Indonesia dalam paket Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL). Sayangnya, metode yang cukup maju ini tidak disosialisasikan dengan baik ke kalangan guru. Tak heran kalau kebanyakan dari para guru lantas memelesetkan akronim CTL menjadi “Catat lalu Tinggal Lari”. Melalui penyatuan atau konvergensi teknologi informasi dan telekomunikasi, maka proses belajar yang menyenangkan bukan lagi impian di siang bolong.

Menurut buku panduan Dirjen Dikdasmen Depdiknas, penerapan CTL dilatarbelakangi rendahnya mutu pendidikan akibat murid kurang menguasai materi pembelajaran. Murid hanya menghafal, tanpa memahami esensi dan aplikasi materi pembalajaran di kehidupan nyata. Dengan CTL, pemerintah berharap bisa mengubah cara pembelajaran di sekolah-sekolah sehingga lebih terkait dengan konteks lingkungan kehidupan murid, seperti konteks sosial, budaya, geografi, dan karakteristik murid.

Dalam buku panduan CTL, Depdiknas menyebutkan tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan CTL di kelas, yaitu konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Secara singkat, konsep tersebut bisa diterapkan dengan cara guru harus merangsang murid untuk bertanya, belajar secara aktif, dan memikirkan sebuah masalah dengan intensif.

Rupanya, buku panduan tersebut secara sadar atau tidak telah menyerap tiga pendapat besar dalam ilmu pendidikan, yaitu Dewey, Vygotsky, dan Ivan Illich. Perhatian terhadap konteks dalam CTL menjadi sangat penting. Menurut John Dewey, salah satu pelopor konsep konstruktivisme, proses belajar dimulai dari sang murid. Sang muridlah yang membentuk atau construct pengetahuan yang diserapnya. Kalau seorang murid merasa akrab atau tahu banyak latar belakang sebuah materi pelajaran, maka si murid akan bisa memahami materi pelajaran dengan baik. Lebih jauh, guru bisa memanfaatkan bahan peraga yang tersedia di sekitar sekolah, misalnya batu karang dari pantai, buah pala dari kebun sekitar, dan ikan teri dari rumah lelang ikan setempat. Yang penting, cari bahan peraga yang akrab dengan murid. Di sini kelihatan kalau konteks si murid memegang peranan utama dalam proses pemahaman materi pelajaran.

Vygotsky, pakar pendidikan asal Uni Soviet yang kemudian menetap di AS, menambahkan bahwa proses belajar itu berlangsung secara bertahap. Seorang murid harus memiliki dasar pengetahuan tertentu untuk mempelajari ilmu yang lebih tinggi. Sistem ini disebut sebagai Zone of Proximal Development. Kalau misalnya dalam ilmu matematika sang murid ingin mempelajari perkalian, maka dia harus tahu lebih dulu konsep angka, penjumlahan, dan pengurangan. Ivan Illich, pakar pendidikan asal Rusia, menyebutkan kalau pendidikan seharusnya menjadi ajang kegiatan masyarakat secara luas, bukan hanya monopoli sekolah formal. Pendapat ini menjadi akar dari masyarakat tanpa sekolah dan yang selanjutnya berkembang menjadi masyarakat belajar, yaitu keahlian itu tersebar di banyak orang dan tak mungkin menumpuk satu keahlian di dalam satu lembaga seperti sekolah. Kalau mau membuat system pembelajaran yang efektif, setiap pakar atau ahli ilmu tertentu harus mendirikan pusat-pusat pembelajaran yang tersebar di berbagai tempat. Jadi, dari uraian di atas, konsep CTL yang kita terapkan memiliki kandungan konsep yang bersifat individual dan komunal sekaligus.

Lidah memang tak bertulang. Menggelar konsep memang mudah, sedangkan menerapkan konsep itu di lapangan sangatlah sulit. Apalagi, konsep ini tidak tumbuh dari nilai-nilai kebudayaan bangsa kita sendiri. Sekarang bagaimana mengubah kebiasaan guru kita dari cara mengajar lama menjadi cara mengajar yang baru dengan memanfaatkan teknologi selular. Seandainya seorang guru memiliki 40 murid di kelasnya, maka setidaknya ada 40 karakter yang berbeda, termasuk konteks sosial, budaya, dan geografinya. Idealnya, setiap murid memiliki telepon genggam. Namun, kalau hanya 4-5 murid saja sudah cukup, yaitu dengan membagi kelas ke dalam 4-5 kelompok tadi. Guru bisa mengendalikan sesi sms massal ini dengan laptop yang menyambung ke Internet sekaligus menyimpan , menganalisa, dan menilai hasil kerja murid-muridnya dalam sesi ini.

Kegiatan belajar mengajar bisa dilakukan di dalam atau di luar ruang kelas. Untuk kegiatan di dalam kelas, guru bisa menuliskan beberapa pertanyaan di papan tulis sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkannya. Kemudian, guru memerintahkan murid untuk mendiskusikan pertanyaan tersebut dengan murid lain hanya dengan menggunakan sms (pesan singkat). Selama sesi ini, murid dilarang berbicara. Seluruh proses diskusi hanya dilakukan melalui pesan singkat dari telepon genggam mereka. Setelah satu jam, murid diminta untuk menceritakan kembali bagaimana isi sms yang mereka terima. Setelah itu, diskusi bisa berlangsung secara terbuka. Dalam sesi di dalam ruang kelas ini, murid dan guru berinteraksi melalui dunia pesan singkat sms, dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki sejak lama. Untuk sesi di luar ruang kelas, murid bisa bertebaran di taman sekolah atau kantin dan perpustakaan. Tetap menggunakan teknologi pesan singkat, mereka akan menerima pertanyaan dari guru yang biasanya meminta mereka untuk mencari tahu tentang informasi yang berkaitan dengan mata pelajaran. Setelah sesi ini selesai, murid dan guru bisa kembali ke ruang kelas untuk mendiskusikan hasil temuan mereka di luar ruang kelas.

Yang perlu dilakukan sekarang adalah sosialisasi penggunaan teknologi selular secara bertingkat. Ada beberapa cara untuk mengenalkan konsep baru dengan pendekatan minimalis, yaitu training-wheel dan scenario-driven. Guru seperti profesi lainnya memiliki keragaman kemampuan. Untuk guru yang kemampuannya terbatas dan daya belajarnya sudah menurun, kita bisa menggunakan cara training wheel dimana guru dilatih untuk menggunakan teknologi selular secara praktis di kelas tanpa dibekali dengan dasar teori konsep ini supaya gampang menyerapnya. Untuk guru yang memiliki kemampuan dan kemauan yang besar, kita bisa menggunakan pendekatan scenario-driven yang melatih guru dengan berbagai kemungkinan situasi, ditambah dengan kemungkinan para guru ini mempelajari dasar teori CTL (contextual teaching and learning) yang digabungkan dengan teknologi selular dan komputer nirkabel (laptop). Dari guru kelompok kedua inilah sebenarnya kita bisa berharap bahwa suatu saat mereka akan melahirkan konsep CTL baru yang lebih membumi dan selanjutnya memberikan kontribusi yang nyata terhadap kemajuan ilmu pendidikan secara global. Kalau sudah begini, kita bisa berharap para guru di tanah air tidak lari tunggang langgang meninggalkan ruang kelas karena murid-muridnya sibuk mengirimkan sms dengan temannya.

Dr. Totok Amin Soefijanto adalah alumnus Boston University School of Education

Alamat: Japos Graha Lestari, Blok G1/No. 1, Jurang Mangu Barat, Pondok Aren, Tangerang 15223
Home: (021) 730 1914
Hp: 0819 3260 9119

Wednesday, November 24, 2004

A Thanksgiving Reflection

I decided to get off at Morse School and walk to my work at Boston University this morning. The bus driver passionately greeted me “Happy Holidays” on the way out. I replied, “You, too. Thank you.” He was a middle-aged man, with a mustache and some gray hairs. He is not white, but not black either. I guessed he was from Eastern Europe. I usually take Harvard shuttle bus from Johnston gate at Harvard Square to BU campus. All the shuttle buses serve round trip from Harvard Sq in Cambridge to Longwood Medical Center in Boston. There are two routes, though. M2 shuttle goes along Massachusetts Avenue and passes Kenmore Square. M2Express turns at Putnam Square and passes BU bridge. I used my Harvard ID to take either one to get to BU campus.

So, this morning, I felt like walking longer than usual, and took M2Express. After got off the bus, I walked up to BU bridge. I like the scenery from this bridge. This nice crispy morning, not too cold – I guess the temperature was around 45 degrees Fahrenheit or 7 degrees Celcius – and thin white puffy clouds floating in the sky. From the bridge, I can see a tranquil Charles River and its running tracks in the back of BU campus. No many leaves left on trees that line up on the river bank. A male holding a water bottle run on the track under the bridge. He run a bit fast like chasing a bus. I would like to run like that, but I guessed I would passing out after a mile or at the most, two miles. A homeless man pushing a full-loaded cart blocking one lane of the street on the bridge, the fast lane it was. The cars behind him did not even bother to honk. What a nice day. Tomorrow Thanksgiving Day. So, everyone seemed take it easy.

I looked the sky, and gleamed into the Citgo sign, two light brown towers between Marsh Chapel – the landmark of BU campus – and Photonic Center building. They looked grand and humble at the same time. They are not big, but magnifying the essence of academic excellence and soul searching. They are not arrogant, but opening themselves to admiration and criticism. Call it epiphany, last night was realized the call for teaching, sharing my knowledge with others, inside me. In one of that towers, in room 318 of School of Theology building, I taught an introduction research class for Master’s degree students. There were 23 students in the class. Their ages were ranging from late 20s to late 40s. One of them has an MBA degree. Almost half of them are Asians. The topic of the class was Descriptive Statistics, in particular statistical concepts such us mean, median, mode, nominal, ordinal, interval, ratio, and correlation. There was one problem: we supposed to watch a movie about mean, median, and mode, but I didn’t know that it was scheduled for next week. Prof. Mary Shann was in South Africa until next week, so nothing I could do. I must teach the students the concepts in that movie. I told my advisor Prof. David Whittier about this problem and he said: “Accessibility, teachers need easy to technology.” Yes, exactly. I added that in my study, constant accessibility did not guarantee teachers would use technology in their classroom. Yesterday, I submitted Chapter 4 and 5 of my dissertation to David. Oh, yeah, also Appendix and Bibliography. I replaced the previous versions that I submitted last Thursday because in the weekend I found that two variables were correlated significantly. A fatal mistake if I did not revise research findings and conclusion. “What inside the technology is also important,” I said. Content that matched with teachers’ need, he replied. Teachers’ capability was also important, I responded. Teacher’s control, he added. Well, my conversation with David that night was like wrapping up my experience in teaching a class and the frustration of using technology in the classroom.
I passed BU Academy building and then walked onto George Sherman Union building. Three Greyhound buses lined up in the curb. “New York” was on the sign box of the buses. I saw many heads inside the buses. I guessed they were BU students who wanted to be home during Thanksgiving holiday. It was 8:30 A.M. and the buses were ready to leave Boston. I kept walking, now passed the Marsh Chapel. The wide sidewalk was empty. I could see all the way through Burger King and School of Management. Not many cars parked on the curb. The parking meters were like a distanced fence of Commonwealth Avenue. A Boston College bound subway car passed. The cars were almost empty. I love holidays. No busy traffic, less noise. It offers tranquility and provides an atmosphere for reflection and contemplation. Happy Thanksgiving.

Boston University, Charles River Campus, November 24, 2004

Thursday, October 07, 2004

This afternoon, I am looking over files of previous students' works on Performance Assessment, an assignment in CT 556 course. All these works are interesting. For example, a student making a PA for sixth grade students to plan a trip to a place they choose on this planet. The students must complete the plan in six weeks that includes budgeting, finding an interesting destination, and interviewing a travel agent (today maybe the students just visit Hotwire, Orbitz, Travelocity, or other on-line reservation sites). Isn't it cool for encouraging our students learning about other cultures and, at the same time, thinking about the logistic and operation of the trip?

Thursday, September 09, 2004

I have been started working as a TA for Prof. Mary Shann since September 7, 2004. She teaches two sessions of RS 600 research course and one session of CT 556 classroom assessment course. RS 600 is conducted in Tuesdays and Thursdays, while CT 556 in Wednesdays.

Tuesday, August 12, 2003

My wife called me that our daughter, Chakri, got a bug in her eye. So, I must go to her office to get the car and pick her up at the camp. I left IMC, caught a T, and then called the camp staff to get direction at my wife's office, and then my wife and I drove to the camp. Apparently, Chakri was fine and just need a rest for the day. Meanwhile, we saw Brita in the camp and waved her. Also, my wife cancelled the appointment with an eye doctor because Chakri is fine. So, after dropped off Chakri at home, my wife and I came back to our workplaces. My wife will pick up Brita later this afternoon, around 4:40 PM.

Monday, August 11, 2003

Dear Blogger,
I am officially use this system to record some of my thoughts. This process, however, is not as easy as having a pen and a memo in your hands. I still need to have a computer -- desktop or portable one -- and an on-line connection, plus a power source. Without all of those, this system is just unreachable, unreliable, and faraway from the intense streaming of my thoughts. So, behold and see if this system is really worth my while...